Senin, 18 Oktober 2010

Percikan Setetes Air di Padang Gersang

Lebih dari 100 juta orang Indonesia belum memiliki
akses air minum dan penyehatan lingkungan.
Sesuai dengan Millennium Development Goals,
tahun 2015 nanti Indonesia harus mampu
mengurangi setengah dari angka tersebut.
Mampukah itu diwujudkan?
Dengan apa target itu bisa dikejar?
Adakah alternatif pelayanan yang lain?
Air tak bisa dipandang sebagai benda sosial semata. Air pun memiliki nilai ekonomi. Kedua nilai tersebut tak bisa dipisahkan. Memperlakukan air hanya sebagai benda ekonomi akan mengakibatkan hilangnya fungsi sosial dari air dan mengabaikan kebutuhan penduduk miskin. Dalam kaitan ini pemerintah dituntut untuk
meningkatkan jangkauan pelayanan dan kualitas air minum ke seluruh lapisan masyarakat karena air adalah hak dasar. Ini tantangan yang belum bisa terjawab hingga kini, tidak hanya bagi Indonesia tapi juga negara-negara lain.
Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa pengelolaan oleh pemerintah cenderung menerapkan harga rendah sehingga tidak mampu mempertahankan kualitas layanan jaringan yang ada, apalagi meningkatkan jangkauan pelayanan. Meskipun harga rendah dikatakan bermanfaat bagi penduduk miskin tapi kenyataannya tidak semua penduduk miskin terlayani. Mereka tetap saja harus mencari sumber alternatif dengan harga air yang jauh lebih mahal. Kondisi ini kemudian memunculkan gagasan keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum. Di sisi lain memang air telah menjadi 'emas biru' yang sangat menggiurkan bagi kalangan swasta untuk mengeruk keuntungan. Investasi swasta masuk ke sektor ini dalam skala besar. Akhirnya ada dua model pengelolaan air skala besar ini. Ada yang oleh perusahaan negara dan swasta.
Pengelolaan oleh perusahaan ini berlangsung beberapa dekade. Sayang hasilnya belum memuaskan. Banyak anggota masyarakat yang belum terlayani, terutama kalangan miskin. Ada kendala struktur tarif dan bentuk
pengelolaan. Beberapa alasan masyarakat tidak terjangkau layanan air minum dari perusahaan yaitu (i) biaya sambungan terlalu tinggi dan pembayaran sekaligus di depan menghalangi penduduk miskin untuk berlangganan; (ii) air yang tersedia tidak selamanya mencukupi kebutuhan dan prioritas utama yang tidak mendapat layanan adalah penduduk miskin; (iii) struktur tarif dan rendahnya konsumsi air penduduk miskin mengakibatkan perusahaan air minum tidak tertarik melayani penduduk miskin; (iv) jika penduduk bertempat tinggal di permukiman liar maka mereka tidak akan mendapat layanan publik.
Di sisi lain, perusahaan air minum sering minim pengetahuan terhadap penduduk miskin sehingga (i) tingkat layanan sering tidak sesuai kebutuhan, dan lebih mengutamakan standar teknis yang sering tidak terjangkau; (ii) sistem pembayaran tepat waktu tidak sesuai dengan bentuk penerimaan penduduk miskin yang tidak teratur; (iii) tidak terjadi komunikasi yang baik antara perusahaan air minum dan penduduk miskin.
Dalam kondisi seperti ini muncullah kemudian penyedia air minum skala kecil (Small Scale Water Provider). Mereka hadir memenuhi kebutuhan penduduk miskin terutama di perkotaan yang belum terjangkau jaringan perusahaan air skala besar atau sudah terjangkau tapi aliran airnya tidak kontinyu. Usaha ini berpotensi melayani penduduk miskin dengan biaya investasi yang relatif rendah. Berdasar tinjauan terhadap beberapa
studi empiris, maka penyedia air minum skala kecil dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu:
Penyedia yang mempunyai hubungan permanen dengan perusahaan air minum, yang mendistribusikan air melalui kios atau hidran. Beberapa contoh adalah kios air di Nairobi (Kenya), Lilongwe (Malawi), Batam (Indonesia); hidran umum dikelola oleh komunitas di Dakar (Senegal), Mopti (Mali), Dhaka (Bangladesh); dan hidran umum dikelola oleh asosiasi komunitas skala kecil di Segou (Mali). Masyarakat yang menjual air perpipaan ke komunitas yang belum terlayani air perpipaan. Beberapa contoh adalah sistem air minum dibangun masyarakat Buenos Aires (Argentina); sistem air minum dibangun oleh wira usaha di Guatemala City (Guatemala) dan pusat penjualan air minum hasil pemurnian air sungai menggunakan sinar matahari di Manila (Philipina); truk tangki air, gerobak air yang diambil dari air perpipaan pada waktu dan tempat di mana perusahaan air minum tidak dapat melayani. Contohnya di Dakar (senegal), Portau-Prince (Haiti), Jakarta (Indonesia). Sistem air minum skala komunitas di Dhulikel (Nepal) (Snell, 1998 dan McIntosch, 2003). Usaha skala kecil ini memiliki karakteristik khas yakni inisiatif individu, fleksibel, mudah mengadaptasi pasar dalam konteks pengaturan keuangan, dan pilihan teknis. Selain itu, usaha tersebut memiliki efisiensi operasi dalam hal (i) pemulihan biaya, (ii) tidak terdapat kebocoran air; (iii) tidak membutuhkan subsidi publik, dan pinjaman.
Berdasar studi "Small Scale Water Providers" yang didanai ADB, ditemukan bahwa pelayanan air minum
skala komunitas mempunyai beberapa karakteristik yaitu (i) Strategi teknis dan manajemen yang fleksibel. Hambatan investasi dan biaya operasi ditangani dengan memilih jenis teknologi yang sesuai dengan kondisi masyarakat.
Masyarakat yang dilayani sebagian besar merupakan pekerja harian sehingga penagihan dilakukan tidak sebulan sekali tetapi lebih sering sesuai dengan kemampuan masyarakat; (ii) Perusahaan air minum menjadi patokan pelayanan. Pelayanan skala kecil menganggap perusahaan air minum sebagai pesaing sehingga kualitas pelayanan diusahakan setingkat; (iii) Kurang dihargai oleh pemerintah daerah dan perusahaan
air minum. Kebutuhan investasi sulit terpenuhi karena dianggap usaha ilegal, tidak menguntungkan, dan asetnya tidak dapat dinilai. Akibatnya akses kredit terbatas dan berbunga tinggi sehingga resiko investasi menjadi tinggi; (iv) Keterkaitan erat antara keabsahan dan tingkat pelayanan Bentuk pelayanan usaha ini bermacam-macam. Ada yang menggunakan gerobak dorong, saluran pipa ke rumah (terminal air), truk tangki air, kios air, dan sebagainya. Khusus kios air minum, ada alasan mengapa usaha ini marak terutama
di kota, yakni (i) memungkinkan pengguna membeli dalam jumlah dan waktu yang sesuai kemampuan ereka; (ii) memungkinkan biaya modal rendah per rumah tangga yang terlayani; (iii) memungkinkan tingkat pemulihan biaya (cost recovery) perusahaan air minum lebih baik karena penyedia air minum skala kecil membayar sesuai dengan yang dipergunakannya. Lebih dari itu penyedia air skala kecil dapat berkembang sesuai dengan situasi yang ada. Beberapa kasus menunjukkan usaha dengan gerobak dorong bisa menjadi truk tangki air bahkan menjadi sambungan pipa bawah tanah ke rumah.
Namun di Indonesia belum ada penyedia air skala kecil yang berubah menjadi perusahaan besar. Oleh karena itu, keberadaan penyedia air skala kecil ini mampu mendorong pencapaian MDGs tahun 2015. Mereka layak dimasukkan dalam strategi investasi air minum karena usahanya mampu mempercepat peningkatan cakupan
layanan. Hanya saja perlu ada perhatian khusus kepada mereka terutama dalam hal kendala tarif yang relatif
mahal dan kurangnya dana investasi serta aspek legalitas.

By. Hasan Husain, SKM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar